Segala puji bagi Allah, Rabb seru sekalian alam. Salawat dan salam semoga tercurah kepada hamba dan rasul-Nya, kekasih dan pilihan-Nya, seorang tokoh pembawa lentera hidayah dan sosok da’i yang mengajak kepada jalan-Nya. Amma ba’du.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, salah satu keistimewaan pengikut Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah berdakwah -mengajak manusia- kepada jalan Allah; kepada Islam, kepada tauhid, sunnah, dan keimanan.
Allah ta’ala berfirman-Nya di dalam Kitab-Nya yang agung (yang artinya), “Katakanlah [Muhammad]: Inilah jalanku, aku mengajak [berdakwah] untuk [menghamba] kepada Allah, di atas bashirah/ilmu. Inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku. Dan Maha suci Allah, sama sekali aku bukan termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)
Memang, dakwah merupakan salah satu sumber keberuntungan dan kesuksesan, tidaklah hal itu diragukan. Sebab, Allah ta’ala telah menyatakan (yang artinya), “Demi waktu. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (QS. al-‘Ashr: 1-3)
Di dalam surat yang ringkas ini, Allah menggambarkan kepada kita bahwa jalan menuju keberuntungan ditopang oleh 4 perkara -sebagaimana disinyalir oleh Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah– yaitu; ilmu, amal, dakwah, dan sabar. Bahkan, keempat hal ini tergolong perkara yang wajib untuk dipelajari dan diterapkan dalam hidup ini.
Diantara keempat hal itu, dakwah telah menempati posisi yang sangat agung dalam dunia pencerahan dan tarbiyah generasi. Sebab ilmu dan amal tak akan tertanam dan tersebar tanpa dakwah yang gigih dan terarah. Mereka -yang teguh di jalan dakwah ini- memegang erat slogan yang diisyaratkan oleh Imam al-Bukhari rahimahullah di dalam Sahih-nya, “Orang yang membina manusia dengan ilmu-ilmu yang kecil/dasar sebelum ilmu-ilmu yang besar.”
Namun, yang menjadi masalah adalah ketika dakwah dan tarbiyah itu telah mengalami salah arah, salah prioritas dan mengalami distorsi kepentingan. Dakwah yang pada awalnya ditegakkan di atas pilar-pilar tauhid, iman, sunnah, dan keikhlasan, lambat laun bergeser dan memudar menjadi ajakan kepada sekelompok pihak dan kekuasaan [baca: ar-Ri’aasah; kepemimpinan, bhs. Arab]. Aduhai, betapa malangnya bahtera dakwah… Ketika suara dan kursi sudah menjadi bidikan dan target kemenangan…
Seolah-olah mereka lupa sebuah ayat yang dahulu mereka tetapkan dalam manhaj dakwahnya. Yaitu firman Allah (yang artinya), “Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang mengajak [manusia] kepada Allah dan beramal salih, seraya mengatakan: Sesungguhnya aku ini termasuk golongan orang-orang yang pasrah/muslim.” (QS. Fushshilat: 33)
Inilah ayat dakwah yang dahulu selalu mereka junjung tinggi. Inilah ayat motivasi yang menggerakkan hati dan pikiran mereka untuk berkhidmat untuk agama dan negeri ini. Namun, seolah-olah sepatah kata di dalamnya telah tercabut dari ingatan mereka… yaitu kata-kata man da’aa ila Allaah… [orang yang mengajak -manusia- kepada Allah]; bukan kepada kelompok atau partainya, bukan kepada kekuasaan dan bendera…
Subhanallah! Ikhwati fillah… saudaraku seagama dan seakidah.. Jalan dakwah ini terlalu mulia dan terlalu mahal untuk ditukar dengan onggokan kartu suara ataupun dunia dan seisinya. Tidakkah antum [anda] ingat, cobaan berat yang menimpa sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di awal perjalanan dakwah Islam yang menuai kontroversi dan cemoohan -bahkan permusuhan- dari para pemuka Kafir Quraisy.
Lihatlah, apa yang menimpa sahabat Khubaib bin ‘Adi radhiyallahu’anhu -sebagaimana dituturkan Syaikh Shalih as-Suhaimi dalam sebuah ceramahnya- ketika dikatakan kepadanya oleh orang kafir Quraisy yang saat itu siap menebaskan pedang ke lehernya, “Wahai Khubaib, maukah engkau apabila Muhammad yang menggantikan posisimu saat ini?”. Simaklah, apa yang dilontarkan oleh seorang Sahabat yang mulia ini -sosok yang telah ter-shibghah dengan iman dan mengerti betapa tingginya nilai Islam dan tauhid yang ia perjuangkan-. Beliau berkata, “Demi Allah, tidak! Meskipun hanya satu duri yang melukai tubuhnya; aku tidak mau beliau yang mengalaminya.” Allahu akbar!!
Aduhai, saudaraku yang mulia… Tidakkah engkau ingat sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing seperti kedatangannya, maka beruntunglah orang-orang yang asing itu.” (HR. Muslim)
Lupakah engkau akan nasihat dan bimbingan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bersegeralah kalian melakukan amal-amal [ketaatan] sebelum datangnya fitnah-fitnah [kekacauan] seperti potongan malam yang gelap gulita; pada pagi hari seorang beriman namun sore harinya menjadi kafir; atau sore hari beriman lalu pagi harinya menjadi kafir. Dia menjual agamanya demi mendapatkan kesenangan dunia.” (HR. Muslim)
Hilangkah dari ingatan dan catatanmu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dahulu dihafalkan dan dipelajari dalam program-program tarbiyah, “Sesungguhnya amalan dinilai dengan niat. Dan setiap orang hanya akan mendapatkan balasan selaras dengan apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin dia gapai atau wanita yang ingin dia nikahi, maka hijrahnya hanya akan mendapat balasan seperti apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Akhi, jangan berburuk sangka.” Tak jarang, kalimat inilah yang muncul ketika nasehat dan teguran diberikan kepada sebagian orang. Padahal, sesungguhnya bukanlah wilayah hati dan perkara niat yang sedang kita persoalkan. Namun, pokok permasalahan [baca; penyimpangan manhaj] yang telah menyeret sebagian da’i kepada kepentingan-kepentingan sesaat dan menjauhkan mereka dari Kitab dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam; itulah yang kita khawatirkan dan mendapatkan perhatian serius dari para ulama Islam.
Kita Harus Sabar, Akhi (Saudaraku)…!
Saudaraku -semoga Allah tambahkan taufik dan hidayah-Nya kepada aku dan kamu- menemukan jalan Islam dan manhaj yang haq adalah anugerah yang tak selayaknya kita sia-siakan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: Dengan karunia dari Allah dan rahmat-Nya, dengan hal yang semacam itulah hendaknya mereka bergembira. Hal itu jauh lebih baik daripada apa-apa [dunia] yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus: 58)
Apabila kita serius mengejar ridha Allah dan surga-Nya, tentulah akan ringan bagi kita untuk menundukkan akal, perasaan, dan kepentingan kelompok kita kepada firman Allah, sabda Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan manhaj para salaf yang mulia ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in . Bukankah, Allah telah menceritakan dalam firman-Nya (yang artinya), “Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama dari kalangan Muhajirin dan Anshar, dan juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ridha kepada mereka, dan mereka pun pasti ridha kepada-Nya…” (QS. At-taubah: 100)
Bukankah bagi anda, “Allah adalah ghoyah kami”, “Muhammad adalah qudwah kami”, dan “al-Qur’an adalah undang-undang kami”… Sungguh betapa mulia dan indah jika kita tulus dan serius mewujudkan semboyan ini dalam realita, bukan hanya sekedar teriakan dan slogan pembakar semangat massa dan pemantik perasaan kaum hawa…
“Kita harus sabar, akhi… Tidak bisa umat berubah secara langsung begitu saja. Kita harus berjuang dengan segala sarana yang ada.” Ya, benar! Kesabaran di dalam dakwah mutlak dibutuhkan. Dan kesungguhan dalam dakwah pun perkara yang dituntut dengan syarat harus tetap berjalan di bawah naungan al-Qur’an [fi zhilalil Qur’an] dan tentu saja dengan mengikuti bimbingan as-Sunnah dan atsar para salafus shalih…
Bukankah Allah jalla wa ‘ala telah memerintahkan (yang artinya), “Jika kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul.” (QS. An-Nisaa’: 59)
Bukankah Allah jalla dzikruhu juga memperingatkan (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang rasul itu dan mengikuti jalan selain jalan orang-orang beriman, maka Kami akan membiarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dia pilih dan Kami akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan sungguh Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisaa’: 115)
Allah, Rasul, dan al-Qur’an al-Karim menyeru anda dan kita semua untuk kembali ke jalan yang lurus [shirathal mustaqim] dan meninggalkan jalan hizbu asy-Syaithan [pengikut setan]; yaitu jalan bid’ah dan perpecahan, jalan hawa nafsu dan penyimpangan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, ikutilah ia dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan [yang lain] karena akan mencerai-berikan kalian dari jalan-Nya.” (QS. Al-An’aam: 153)
al-Qur’an lah yang akan membawa umat ini kepada kemuliaan, bukan kotak suara, bendera fanatisme, atau kursi kekuasaan. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah akan memuliakan sebagian kaum dengan Kitab ini dan akan merendahkan sebagian yang lain dengannya pula.” (HR. Muslim)
Ini hanyalah sebuah renungan, yang mengingatkan penulis akan sebuah ayat yang ditulis dalam stiker kampanye seorang aktifis dakwah kampus yang mencalonkan diri sebagai presiden mahasiswa di sebuah universitas beberapa tahun yang silam. Sebuah ayat yang menuntut kita untuk tunduk kepada Allah dan menyingkirkan berbagai kepentingan yang menodai kesucian syari’at-Nya. Allah menceritakan ucapan Nabi Syu’aib ‘alaihis salam kepada kaumnya (yang artinya), “Tidaklah aku bermaksud kecuali mendatangkan perbaikan sekuat kemampuanku. Dan tidak ada taufik bagiku kecuali dengan pertolongan Allah. Kepada-Nya aku bertawakal dan kepada-Nya aku kembali.” (QS. Huud: 88)